KESAKSIAN PEMBENTUKAN IBADAH PERTAMA TIBERIAS
OLEH IBU PDT. DARNIATY PARIADJI
I. BERAWAL DARI KELAHIRAN
ANAK KE-4, ARSETO PARIADJI
Kita bersyukur ibadah Tiberias telah
genap 25 tahun. Saat ini saya akan menyaksikan bagaimana Tuhan yesus sendiri
yang memulai dan menyertai pelayanan Gereja Tiberias.
Berawal dari saat saya akan melahirkan anak kami
yang keempat Arseto Pariadji. Saat saya akan melahirkan, ada seorang ibu juga
yang akan melahirkan dalam kondisi gawat darurat, maka saya ditangani dengan
terburu-buru oleh dokter. Saya diberikan suntikan dobel dosis. Akibat suntikan
tersebut bayi saya keluar sendiri, ketika saya dalam posisi miring. Setelah
melahirkan, saya lima hari dirawat dirumah sakit, lalu pulang kerumah. Dan
setelah dua hari dirumah tiba-tiba saya mengalami jatuh. Sehingga kaki saya
mengalami bengkak yang besar, tidak bisa digerakkan dan tidak bisa berjalan.
Akhirnya saya mengalami kelumpuhan. Karena kelumpuhan itu, saya tidak bisa
merawat bayi saya.
Selama enam bulan, saya selalu keluar masuk rumah
sakit untuk menjalani pengobatan medis, tetapi hasilnya tetap tidak sembuh
juga. Selama 3,5 tahun saya sakit-sakitan dan sangat tersiksa. Padahal saya
sudah ditangani dokter-dokter yang terbaik. Tentunya kita semua ingin sehat,
tidak ada orang yang ingin sakit. Didalam benak saya, apa gunanya saya lulusan
farmasi, punya apotik 7 dan punya segalanya tetapi sakit-sakitan. Seluruh tubuh
saya terasa sakit, kadang-kadang saya tiba-tiba saja pingsan dan saya selalu
memakai oksigen.
II. DIJAMAH DAN DISEMBUHKAN
LANGSUNG OLEH TUHAN DISEBUAH GEREJA
Lalu
anak kami yang pertama sudah masuk sekolah dan Pak Pariadji yang langsung
mendaftar dan mengurusnya. Sebagai seorang ibu, saya ingin sekali mengantar
anak saya ke sekolah. Akhirnya dengan memakai oksigen, dengan ditemani suster
dan supir, saya mengantar anak saya ke sekolah. Setelah keluar dari mengantar
anak sekolah, tiba-tiba saja ditengah perjalanan saya melihat sebuah gereja dan
menyuruh supir untuk mampir ke gereja tersebut. Saat itu saya merasakan seperti
ada sesuatu yang mendorong saya untuk masuk ke dalam gereja.
Kemudian
saya masuk ke dalam gereja yang sedang tidak ada ibadah, saat itu pukul 9 pagi.
Saya sempat takut, karena saya dari latar belakang bukan Kristen. Saya melihat
salib Tuhan Yesus. Tiba-tiba saja seketika itu juga semua rasa sakit yang
selama ini saya derita selama 3,5 tahun hilang dan sembuh. Keesokan harinya
saya datang lagi ke gereja tersebut. Selama tiga hari berturut-turut saya
datang dengan diantar supir. Hasilnya kaki saya yang bengkak selama 3,5 tahun
dan selalu mengeluarkan air itu, bisa kempes dan akhirnya sampai saya bisa
memakai sepatu. Lalu hari ketiga itu saya bertemu dengan pendeta dan koster
gereja tersebut, disuruh datang lagi pukul 5.55 pagi.
Saat
pagi-pagi mengikuti ibadah itu, akhirnya saya bisa memanggil nama Tuhan dan
semenjak itu saya dijamah dan disembuhkan langsung oleh Tuhan Yesus. Saya bisa
berjalan bahkan bisa mengendarai mobil sendiri. Pulang dari gereja seluruh
karyawan di apotik bersukacita, karena saya sudah sembuh. Bahkan sampai saya
memeriksakan kembali kesehatan saya ke dokter dan hasilnya dokter mengatakan
semuanya sudah normal dan sudah sembuh.
Lalu
ada salah seorang karyawan saya yang memberikan saya sebuah Alkitab. Semenjak
itu saya mulai membaca Alkitab, membaca Injil. Semenjak itu juga saya menjadi
cinta Tuhan Yesus. Saya senang datang beribadah di gereja. Pagi-pagi saya pergi,
supaya tidak ketahuan Pak Pariadji. Diam-diam saya suruh supir saya dorong
mobil saya keluar rumah, supaya tidak kedengaran Pak Pariadji. Supir tersebut
selalu saya beri uang 25 ribu rupiah (tahun 80an itu jumlah yang besar, sampai
akhirnya supir saya bisa beli rumah). Saya katakan jangan beri tahu
siapa-siapa, bila saya pergi ke gereja.
Saat
itu saya terus-menerus mencari kebenaran, ingin mengenal Tuhan Yesus. Lalu saya
membeli banyak buku-buku terjemahan tentang kebenaran itu. Sampai akhirnya saya
menemukan Tuhan Yesus adalah benar-benar keselamatan dan kebenaran itu.
III. MENDIRIKAN PERSEKUTUAN
DOA
Kemudian
saya diajak seorang karyawan saya untuk datang ke sebuah Persekutuan Doa. Di
ibadah itu, ketika pendetanya berkhotbah saya dengan sendirinya mengerti bahwa
Yesus adalah Allah sendiri yang turun ke dunia menjadi manusia.
Setelah
khotbah, ternyata ada acara doa syafaat yang dibagi dalam beberapa kelompok.
Saat itu ada 40 ibu-ibu dan 15 penginjil. Dan saya masuk dalam sebuah kelompok
yang terpisah dengan karyawan saya yang mengajak saya. Setiap kelompok terdiri
dari beberapa ibu yang ditugaskan untuk berdoa syafaat secara bergantian. Saat
giliran saya untuk berdoa, saya diam karena saya tidak bisa berdoa. Karena belum
bisa berdoa, akhirnya keluarlah ucapan: ”Tuhan
saya tidak bisa berdoa bagus seperti ibu-ibu ini, karena saya bukan orang
kristen.” Lalu seketika itu juga ibu-ibu itu mendoakan saya, dengan berkata: ”Tuhan Yesus jamah ibu ini Tuhan, jadikan
ibu ini anakMu.” Dan saat itu juga saya dijamah Tuhan dan mengalami
kelepasan. Seperti ada sesuatu yang keluar dari belakang leher saya. Lalu
seketika itu juga, saya bisa berteriak: ”Tuhan
Yesus, saya minta Mas Pariadji hidup didalam Engkau dan saya minta Andira,
Aristo, Argo, dan Arseto hidup didalam Engaku.” Semenjak itu saya bisa
berkata Tuhan Yesus.
Akhirnya
saya memiliki kerinduan untuk belajar Alkitab. Lalu saya mendirikan sebuah
persekutuan doa yang tempatnya di apotik saya. Saya mengajak karyawan dan
ibu-ibu yang lain. Pertama kali Persekutuan Doa itu dibuka pada hari Rabu,
kemudian dibuka lagi hari Senin, lalu hari Jumat saya belajar Tabernakel dan
hari Sabtu saya mengadakan Pendalaman Alkitab untuk karyawan-karyawan saya.
Setelah berjalan tiga bulan, yang hadir terus bertambah sampai lebih dari 300
orang.
Ada
sebuah kejadian yang luar biasa terjadi, ada seorang ibu yang menderita sakit
kanker ditelapak kakinya dan ia minta agar saya mendoakannya. Hari itu saya
doakan dia pada hari Senin, padahal hari Kamis ia harus potong kakinya. Tetapi
hari Kamis itu ternyata mujizat terjadi, ibu itu kakinya sembuh, tidak jadi dioperasi
dan kankernya hilang. Hari Senin ibu itu datang lagi ke Persekutuan Doa,
kakinya sudah sembuh.
Di
Persekutuan Doa itu banyak ibu-ibu yang bersaksi mereka diberkati, dijamah dan
mengalami pelepasan. Banyak ibu-ibu yang rumah tangganya hancur, dipulihkan.
Akhirnya banyak ibu-ibu yang datang minta saya doakan. Bahkan banyak juga
ibu-ibu yang didoakan pelepasan dari setan-setan. Ada seorang ibu ingin
menerima Tuhan Yesus tetapi selalu mengalami kesulitan. Saya selalu katakan
pada ibu itu, apapun yang kita lakukan, selalu berkata: ”Yesus...Yesus...Yesus...Yesus...”
Akhirnya ibu itu bersaksi anaknya yang suka mendaki gunung tiba-tiba tersesat
disebuah gunung, tidak bisa pulang. Lalu ia panggil: ”Yesus...Yesus...Yesus...Yesus...”
Tiba-tiba saat itu di tengah situasi yang gelap gulita itu, ia melihat sinar
terang yang akhirnya menjadi jalan sampai ia menemukan jalan pulang dan
selamat.
IV. IBADAH MINGGU PERTAMA,
22 MEI 1988, BERTEPATAN DENGAN HARI ULANG TAHUN SAYA DAN HARI PENTAKOSTA
Sejak
awal saya tidak pernah berpikir ingin melayani, tidak terpikir untuk menjadi
pendeta, tidak terpikir ingin menjadi Gembala Sidang. Satu kerinduan kami,
hanya untuk menginjil, memenangkan jiwa-jiwa.
Setelah
Persekutuan Doa berjalan, semakin lama semakin ramai, sampai-sampai tidak muat
lagi. Lalu banyak ibu-ibu yang rindu agar saya mengadakan ibadah di hari
Minggu. Saya senang main organ, maka saya selalu melayani dengan main organ di
Persekutuan Doa. Tetapi kadang-kadang MC nya tidak bisa hadir, saya
menggantikannya menjadi MC sekaligus main organ. Bahkan pernah juga MC dan
pendetanya tidak bisa hadir, saya pernah sekaligus menjadi pembicara, MC, dan
main organ. Saya sering diundang gereja-gereja lain untuk memainkan organ. Pak
Pariadji pernah menjual organ saya supaya tidak main organ lagi di gereja.
Pak
Pariadji awalnya hanya mengintip saja bila Persekutuan Doa berlangsung. Saya
selalu berdoa untuk Pak Pariadji dan anak-anak agar diselamatkan Tuhan. Karena
saya belum pandai berdoa, maka saya mengutip doa dari seorang hamba Tuhan yang
berkata: ”Pakai kami Tuhan, pakai kami
Tuhan menjadi alatMu yang tangguh.” Akhirnya Pak Pariadji dijumpai Tuhan
dan diselamatkan. Kemudian ia berkata kepada saya, bahwa ia mau melayani full time.
Pak
Pariadji dan saya bersama anak-anak senang melayani dengan membagi-bagikan Kitab
Injil. Pak Pariadji dan saya serta keluarga senang membagi-bagikan Kitab Injil,
naik turun bus, naik turun kereta dan mal-mal. Gudang-gudang di apotik kami,
kami jadikan tempat untuk menyimpan Kitab-Kitab Injil yang kami beli dari LAI.
Berjalannya waktu kami terus melayani, sampai akhirnya dibaptis selam.
Yang
luar biasanya Tuhan selalu menuntun kami dalam pelayanan. Saya sering diundang
bersaksi, keluar negeri, ke berbagai negara. Yang menjadi kerinduan kami adalah
selalu melayani, melayani, dan melayani. Sejak awal Pak Pariadji memang
orangnya berani mati. Dulu berani mati untuk negara, kini berani mati untuk
Tuhan demikian juga berani mati untuk jemaat.
Dalam
perjalanan pelayanan itu, semua pekerjaan sedang diberkati. Bahkan ada satu
rencana ingin membangun pabrik disposable
syringe yang besar, sudah ada tanah, sudah dapat izin dari Jepang, sudah
ada modal. Akhirnya saya doa tanya Tuhan, dalam sebuah perjalanan di pesawat
dari Jepang ke Jakarta, ternyata jawaban Tuhan: “Kamu akan melayani, menjadi
hamba Tuhan, melayani, hamba Tuhan, melayani.” Saya konseling dengan seorang
pendeta tentang hal itu dan pendeta itu berkata kalau Tuhan memakai ibu, Tuhan
juga akan memakai Pak Pariadji.
Akhirnya
kami bergabung ke dalam full gospel
ministry, lalu ada pendeta yang mau menaungi kami. Sampai akhirnya pendeta
tersebut menentukan ibadah Minggu pertama pada hari Minggu tanggal 22 Mei 1988.
Tanggal tersebut adalah hari ulang tahun saya dan hari itu tepat hari
pentakosta, padahal itu tidak dirancangkan. Ibadah Minggu terus berkembang
pesat. Buka di Ratu Plaza, penuh sesak. Buka di Jakarta Theater, penuh sesak.
Buka di Jayakarta Tower, penuh sesak. Sampai akhirnya pada tahun 1990, menjadi
Gereja Tiberias dan Pak Pariadji diangkat menjadi Gembala Sidang. Sampai
sekarang sudah 25 tahun Tuhan selalu mengurapi dan memberkati pelayanan Gereja
Tiberias.
Drs. EC. Harmanto, M. M., MBA dan Ibu Eli – SEMBUH DARI
DIABETES AKUT, BEBAS MAUT DAN DIBERKATI TUHAN
·
Pak Harmanto, awalnya menderita sakit diabetes,
gula darahnya mencapai angka 550. Berat badannya turun drastis dan ia terkapar
di rumah sakit. Dokter memvonisnya tidak ada harapan hidup lagi. Di rumah sakit
ia menyaksikan acara Mujizat di TVRI, mengikuti doa Pdt. Pariadji. Lalu ia
memutuskan keluar dari rumah sakit untuk didoakan langsung Pdt. Pariadji, di
Gereja Tiberias. Akhirnya datang ke Gereja Tiberias, didoakan, terima Perjamuan
Kudus dan Minyak Urapan, hasilnya penyakitnya sembuh. Karirnya dipulihkan
diangkat menjadi pegawai eselon 1 dan ekonominya dipulihkan.
·
Setelah itu, ia minta didoakan pendeta isi
setan, bukannya diberkati malah gagal. Tanahnya dan usahanya didoakan pendeta
isi setan, menjadi gagal, rumahnya hilang, mobilnya hilang, usahanya hilang,
semuanya hilang dan habis. Ia menjadi miskin dan melarat. Sampai akhirnya ia
sadar, kemudian ia memutuskan untuk dibaptis kembali oleh Pdt. Pariadji.
Setelah dibaptis kembali, hanya selang beberapa hari kemudian, hidupnya
dipulihkan, hutangnya lunas, mobil kembali dan ekonominya dipulihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar